HISTORY OF TUBAN CITY
Tuban disebut sebagai Kota Wali karena Tuban adalah salah satu kota di Jawa yang menjadi pusat penyebaran ajaran Agama Islam namun beberapa kalangan ada yang memberikan julukan sebagai kota tuak karena daerah Tuban sangat terkenal akan penghasil minuman (tuak & legen) yang berasal dari sari bunga siwalan (ental).
Ciri khas
warga masyarakat Kota Tuban mempunyai ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan yang lain. Setiap keunikan yang ada membuat setiap hal menjadi kian beragam. Sebagai warga masyarakat kota Tuban, tentu saja hal-hal yang berbeda sangat mudah untuk diketahui.
Ada beberapa ciri khas masyarakat Kota Tuban yang sangat terkenal hingga ke pelosok negeri. Hal yang unik tersebut melekat hingga kini dan mudah dijumpai setiap saat. Untuk lebih jelasnya tentang ciri khas apa saja yang paling menonjol, berikut ini merupakan ciri khas tersebut yang dirangkum dalam tata bahasa yang eksklusif persembahan untuk tanah kelahiran tercinta.
Warga masyarakat kota Tuban terbiasa hidup bergotong-royong dalam berbagai aktivitas. Pernahkah anda jumpai masyarakat warga kota Tuban saling membantu saat tetangga mereka sedang memperbaiki rumah? Hal itu adalah pemandangan yang biasa terlihat. Saling bahu membahu dalam berbagai kegiatan termasuk aktivitas sosial merupakan hal biasa yang sudah lazim terlihat. Kebiasaan untuk saling tolong-menolong telah merasuk dalam jiwa masyarakat Kota Tuban dan menjadi salah satu daya tarik tersendiri yang membedakan warga kota ini dengan kota lainnya.
Dalam setiap acara sosial, warga masyarakat Kota Tuban tidak perlu diundang. Saat mereka melihat atau mendengar tetangga mereka akan punya hajat atau yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan nama “Duwe Gawe”, maka para tetangga tanpa di komando akan langsung berdatangan. Mereka saling membantu tanpa pamrih. Sejak zaman dahulu kala ketika Kota Tuban masih berupa Kerajaan, masyarakat kota Tuban telah terbiasa hidup dalam tatanan masyarakat yang penuh dengan jiwa sosial. Sifat turun temurun tersebut masih tercermin hingga kini. Sebuah sikap yang menjadikan warga Masyarakat Kota Tuban menjadi luar biasa bermutu.
Orang tuaku yang juga warga Kota Tuban selalu berkata “Lebih penting memiliki jiwa yang baik daripada pandai tapi sama sekali tidak punya hati”. Sebuah petuah yang diajarkan para orang tua warga masyarakat Kota Tuban.
Warga Masyarakat Kota Tuban adalah Pekerja Keras. Dengan keterbatasan ekonomi, warga Kota Tuban pantang untuk menyerah. Segala cara yang halal ditempuh untuk tetap melanjutkan hidup. Mayoritas warga Kota Tuban bukanlah orang yang mampu dalam standar finansial pada umumnya namun mereka tetap semangat dalam menjalani hidup.
Petani yang bekerja di sawah untuk menghidupi anak istrinya sama sekali tak mengeluh meski keadaan ekonomi cenderung membuat mereka hidup serba pas-pasan. Nelayan yang melaut mencari ikan pantang pulang sebelum hasil ada di tangan. Sikap pekerja keras warga masyarakat Kota Tuban merupakan warisan leluhur yang masih tercermin hingga kini.
Warga Masyarakat Kota Tuban adalah pejuang pemberani. Kala penjajahan mencengkeram erat bumi pertiwi, warga masyarakat Kota Tuban tak pernah surut berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Mereka lebih baik gugur daripada hidup terjajah. Sikap pemberani ini telah terlihat sejak masa kepemimpinan Adipati Ronggolawe di Kerajaan Majapahit. Warga masyarakat Kota Tuban selalu siap berjuang saat diperlukan. Mereka selalu ingat pesan para leluhur mereka yang telah berjuang lebih dulu dalam mempertahankan kemerdekaan. “Selalu siap demi kebenaran” adalah moto warga masyarakat Kota Tuban yang tak pernah tertuliskan namun terpatri dalam tiap sanubari.
Tiga ciri khas yang paling menonjol tersebut merupakan warisan nenek moyang yang telah ada sejak zaman dulu. Kini tinggal bagaimana penerus daerah memutuskan untuk tetap menjaga nilai luhur yang selalu dijaga leluhur atau bersikap sebaliknya.
MAKANAN/BUAH KHAS TUBAN
RAJUNGAN KHAS TUBAN
Selain memiliki goa-goa alami yang tersebar di berbagai sudut kota, Tuban juga terkenal akan hasil lautnya yang melimpah. Kota yang terletak di pesisir pantai utara Jawa Timur ini memunyai dua cita rasa kuliner yang khas, yaitu seafood dan rasa pedas yang menggigit. Salah satunya hidangan Kare Rajungan “Manunggal Jaya”.
Manunggal Jaya merupakan nama depot yang diambil dari nama jalan. Depot ini cukup dikenal di Tuban. Berada di jalan Manunggal, tepatnya di samping kantor Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tuban dan persis depan SMA Negeri 3 Tuban.
Seperti yang kita tahu, rajungan merupakan nama sejenis hewan laut yang mirip kepiting. Namun bedanya, kalau kepiting hidup di air tawar dan bisa diternak, sedangkan rajungan mempunyai habitat liar di laut. Yang khas dari rajungan adalah bentuk cangkangnya yang bermotif bentol-bentol (polkadot) seperti macan tutul. Dagingnya juga jauh lebih empuk, manis dan gurih dibanding kepiting. Cangkangnya juga lebih lunak, mudah pecah sehingga tidak mempersulit pelanggan seperti halnya ketika menyantap kepiting.
Racikan bumbu kare rajungan di depot ini sangat tersohor di Tuban. Sebelum menyentuh lidah, aromanya sudah begitu membuai. Dan setelah hidangan ini menyentuh lidah, rasa lezat pun terasa. Tapi lama-kelamaan rasa pedasnya akan meremukkan lidah. Siapapun yang sedang pilek, mungkin saja hidungnya langsung plong.
Buat Anda pecinta pedas, Anda harus menerima tantangan yang satu ini.
Menurut Suwartiah, pemilik depot, kare rajungan dimasak dengan bumbu pepek. Hal itu membuat aroma rempah begitu menonjol. Bumbu-bumbu tersebut antara lain bawang merah, bawang putih, kemiri, kunir, kencur, laos, jeruk purut, ketumbar, terasi, daun bawang, daun pre, santan kelapa dan tentu saja cabai.
Soal cabai, Ibu enam anak ini memberikan porsi yang luar biasa. “Biasanya, dalam sehari kami memasak 200 ekor rajungan. Memasaknya dipisah ke dalam tiga panci. Setiap panci yang berisi 60-an rajungan itu dicampur dengan lebih dari 3 kg cabai. Jadi totalnya 10 kg cabai untuk 200 rajungan,” kata wanita 60 tahun yang memulai usaha sejak 1985 itu.
Cara memasaknya juga harus tepat. Mula-mula seua bumbu dimasak. Kemudian dimasukkan santan dan jeruk purut. Tunggu 30 menit hingga mendidih dan aromanya harum. Setelah itu barulah masukkan rajungan. “Setelah itu diamkan sejenak agar bumbunya merasuk. Jangan lupa masukkan daun bawang dan daun pre,” jelasnya.
Suwartiah mengaku, rajungan ini tidak bisa didapat di sembarang tempat dengan jumlah yang banyak. Ia mendapatkannya dari pemasok tetap di daerah Paciran. Seporsi kare rajungan yang nikmat ini dipatok harga Rp 60 ribu dengan isi dua ekor rajungan. Depot ManunggaI Jaya ini buka mulai pukul 08.00 sampai 20.00 WIB.
BELUT JANGKAR
Rp. 10.ooo,- anda bisa menikmati satu porsi belut goreng super pedas atau dengan satu porsi ikan lele goreng super pedas yang bersisi 2 ekor ikan lele tiap porsinya, sedangkan Rp. 2ooo untuk nasi jagungnya. Banyak para pegawai yang menyempatkan untuk makan di warung ini pada saat jam kerja ataupun saat jam istirahat. Warung ini buka pada jam 11.oo pagi. Warung ini sangat ramai, sehingga beberapa jam saja semua masakan sudah habis diborong para pelanggan. Jadi untuk anda yang sangat suka dengan wisata kuliner jangan lupa mampir ketempat ini.
BUAH SIWALAN
MINUMAN KHAS TUBAN
LEGEN
Untuk mengurangi rasa asam, biasanya pada dasar bumbung ditaburi sedikit air kapur. Air legen ini dalam bahasa Indonesia disebut nila. Tapi nila ada juga yang dihasilkan dari manggar bunga kelapa atau dari manggar bunga pohon aren, tapi secara khusus legen hanya dibuat dari pohon siwalan. Jenis pohon siwalan ada dua macam, yang satu bunganya manggar seperti kelapa dan menghasilkan buah yang disebut buah siwalan. Isinya seperti kolang-kaling yang empuk, kenyal dan manis. Sedang pohon jenis lainnya hanya berbunga berbentuk sulur dan khusus dimanfaatkan untuk disadap getahnya menjadi legen. Dua pohon jenis ini saling membutuhkan sehingga dapat berlangsung penyerbukan menghasilkan buah siwalan yang kelak dapat ditanam menjadi pohon serupa.
Tanaman Lontar ( Borassus flabellifer ) yang banyak terdapat di daerah Tuban dan biasa disebut Siwalan atau Ental memiliki banyak manfaat. Salah satunya adalah menjadi penghasil minuman yang disebut dengan Legen oleh Warga setempat.
Legen berasal dari bunga Siwalan yang masih berupa kuncup dalam tandannya. Tandan bunga siwalan itu diiris sedikit pada pucuknya dengan menggunakan pisau sampai mengeluarkan Air berwarna putih yang disebut dengan nira.
Nira yang terus menetes itu kemudian ditampung di dalam Bumbung yaitu wadah terbuat dari Bambusepanjang 40 cm dan dipasang tepat di bawah pucuk tandan Bunga. Setiap pengirisan tandan bunga itu dibarengi dengan pengambilan bumbung yang penuh dengan nira dan menggantinya dengan bumbung lainnya yang masih kosong.Nira segar yang terkumpul itulah yang disebut dengan Legen dan bisa langsung diminum. Rasanya cukup Segar campuran antara manis dan sedikit asam dengan Sensasi bau Legen yang Khas.Minuman Legen yang masih alami berwarna putih pekat seperti air yang telah digunakan untuk Mencuci beras. Legen ini hanya bisa bertahan 3-4 jam saja. Di luar batas itu, rasa legen segera berubah menjadi minuman Tuak yang berasa pahit dan bisa me Mabuk kan karena kadar alkoholnya yang cukup tinggi.
Cukup susah juga untuk mendapatkan minuman Legen yang asli di Tuban. Kecuali dengan mendatangi langsung ke Desa -desa yang banyak terdapat Pohon Siwalan. Seperti di daerah Boto yang disana terdapat Wisata alami Air terjun Banyu Langse.Harga minuman Legen yang masih segar dan alami itu Rp 3500 per botol ukuran 1500 ml. Pada bulan Ramadhan, di daerah Boto ini banyak pembeli yang memesan minuman Legen sebagai minuman untuk buka puasa. Di kawasan Jalan Manunggal dan kawasan Wisata di Tuban seperti Gua Akbar, Makam Sunan Bonang, Pantai Boom, Kelenteng Kwan Sing Bio dan sebagainya memang banyak terdapat Pedagang yang menjual Legen dalam kemasan botol atau jerigen.
TUAK KHAS TUBAN
Tuak mengalami berbagai tambahan dalam proses pembuatannya,sedang Legen murni dari tetesan “wolo” yang aslinya dalam sehari hanya menghasilkan kurang dari 1 liter cairan saja di tiap batang “wolo”. Proses penyulingan ini selama kurang lebih 24 jam.
Hal itu saya buktikan sendiri yang menunggui sang penjual langsung dari pohonnya. Saya berfikir,lantas cara bagaimana kok banyak legen beredar begitu banyaknya dan tidak basi dalam beberapa hari ? ,ternyata legen yang di jual di kios-kios tersebut bukan legen asli. melainkan sudah di proses oleh manusia.
Begitu juga dengan tuak,yang ternyata juga ada yang asli dan olahan. yang asli menurut sang ahlinya tanpa di proses,tapi kendalanya sama. Yaitu sedikitnya hasil sulingan. sehingga minim pula pendapatan dari hasil penjualan.
Untuk menyiasati langkanya produksi dan minimnya pendapatan,maka ada tangan-tangan jahil dengan mengolah sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan hasil yang jauh dari pada tidak olahan.
Maka kalau kita membeli legen di kios-kios sepanjang jalan widengan atau di terminal wisata,maka kita hanya bisa merasakan seperti minuman bikinan pabrik. sangat berbeda kalau kita membeli langsung di pemanjat atau penjual pertama.
Tuak dan Legen yang asli hanya bisa bertahan rasanya dalam beberapa jam dari pengambilan di pohon siwalan. untuk itu saya yakin bahwa yang di jual di kios itu mengandung zat pengawet dan zat penambah rasa.
OBYEK WISATA
KLENTENG
Klenteng Kwan Sing Bio adalah tempat ibadah Tri Darma yang paling banyak dikunjungi olah para wisatawan, baik dari dalam dan luar kota Tuban, seperti Surabaya dan Semarang, atau bahkan pengunjung dari Singapura, Malaysia dan China.
Klenteng ini menghadap langsung ke laut lepas dan banyak yang percaya setiap orang yang berdoa di sini akan terkabul doanya. Klenteng Kwan Sing Bio merupakan klenteng yang megah dan salah satu icon di Tuban. Saat Imlek tiba, klenteng ini banyak dikunjungi oleh mereka yang ingin melihat kemeriahan Tahun Baru Cina ini, dimana terdapat pertunjukan barongsai, pertunjukan wayang titi, pesta kembang api hingga atraksi kung fu.
PEMANDIAN BEKTIHARJO
Tetapi benarkah Kabupaten Tuban berawal dari Sendang Bektiharjo ini ? Buku Babat Tanah Jawi yang memuat kisah raja-raja seluruh tanah Jawa menyebutkan, suatu saat, atas wangsit (petunjuk) dari Hyang Widdi, Raden Aryo Dandang Wacana, putra Raden Arya Dandang Miring yang memerintah Kadipaten Lumajang Tengah, membabat alas Papringan. Saat itu kemarau dan panas terik sekali, sedang hutan Papringan yang tandus tak menyediakan sumber air buat kebutuhan Raden Arya Dandang Wacana dan anak buahnya.
Ia lalu semedi, memohon kemurahan Yang Maha Kuasa agar diberi sumber air sehingga pekerjaan membuka hutan Papringan bisa kelar. Permohonan Raden Arya Dandang Wacana terkabul. Dengan tiba-tiba air menyembur dari tanah bekas pohon bambu yang ditebang anak buah Arya Dandang Wacana. Sontak mereka berteriak takjub dan girang: ” Metu banyune, metu banyune….”
Giranglah hati Raden Arya Dandang Wacana. Untuk mengabadikan peristiwa “ajaib” itu, maka hutan Papringan yang dibukanya untuk pemukiman baru tersebut diberi nama Tuban, diambil dari kata me-Tu Banyune itu.
R. Soeparmo dalam bukunya 700 Tahun Kabupaten Tuban menulis, Raden Aryo Dandang Wacana kemudian membuat pemukiman di hutan Papringan yang telah dibuka tersebut. Lama-kelamaan pemukiman itu tambah ramai. Banyak pendatang yang memohon pada Raden Arya Dandang Wacana untuk diperkenankan turut bermukim di kampung baru bernama Tuban itu. Pancaran air dari dalam tanah itu pun semakin lama semakin besar hingga airnya meluber menggenangi daerah sekitarnya.
Setelah Aryo Dandang Miring mangkat, Aryo Dandang Wacono tidak mau meneruskan kedudukan ayahnya sebagai Adipati Lumajang Tengah. Arya Dandang Wacana memilih tetap bermukim di Tuban dan memproklamirkan kampung barunya itu sebagi kadipaten menggantikan kadipaten Lumajang Tengah yang berpusat di utara Gunung Kalak Wilis, tepatnya di Dusun Bogang, Desa Wadung, Kecamatan Jenu.
Menurut R Soeparmo, pusat pemerintahan Kadipaten Tuban pimpinan Arya Dandang Wacana ada di Desa Bektharjo, Kecamatan Semanding. Nama Bektiharjo sendiri bermakna Pengabdian (Bekti) untuk Kemakmuran (Harjo). ” Ya karena setelah menjadi keraton, kawulo selalu ke sini untuk menghaturkan bulu-bekti atau pajak kepada Adipati. Makanya dinamakan Bektiharjo,” kata Sukandar, Juru Kunci Sendang Bektiharjo.
Konon, keraton tempat Arya Dandang Wacana tinggal berada di tengah-tengah telaga Bektiharjo. Karena perkembangan zaman, hutan di sekitar telaga yang tercipta dari pancaran air hutan Papringan itu rusak parah. Akibatnya debit air telaga menyusut dan menyisakan sebuah sendang yang kini sebagai Wisata Pemandian Umum Bektiharjo.
MASJID AGUNG TUBAN
Masjid yang berlokasi di kelurahan Kutarejo, kecamatan Tuban ini didrikan pada masa pemerintahan Adipati Raden Ario Tedjo (Syeh Abdurrahman), Bupati Tuban ke-7, dimana saat itu ialah awal permulaan pemerintahan Islam, beliau wafat pada tahun 1460 (abad ke-15). Namun secara pasti pendiri masjid ini tidak tercatat. Masjid agung tuban dahulu bernama masjid jami.
Masjid Agung dibangun untuk ke dua kali (direnovasi pertama) pada tahun 1894 M pada masa pemerintahan Bupati Raden Tumenggung Kusumodigdo (Bupati Tuban ke 35). Bangunan Masjid yang besar dan megah berdiri kokoh di sebelah barat alun-alun kota tuban menjadi kebanggaan masyarakat Tuban
Masjid yang letaknya berdekatan dengan makam sunan bonang ini memiliki keindahan wisata religi dengan gaya ala dongeng 1001 malam. Tak kalah dengan masjid-masjid terkenal di penjuru nusantara yang membuat kagum para wisatawan yang berkunjung di kota tuban. Dengan ornamen yang begitu indah, polesan yang begitu detail, tembok yang penuh ukiran membuat masjid ini menjadi salah satu masjid termegah di Jawa timur.
Masjid Agung Tuban merupakan salah satu peniggalan sejarah kota tuban,banyak ajaran- ajaran islam yang disebarkan oleh sunan bonang dilakukan di masjid ini. Masjid Astana itulah nama bangunan masjid kecil yang didirikan Sunan Bonang kala itu. Masjid ini kemudian berkembang menjadi tempat ibadah sekaligus tempat dilangsungkannya kegiatan belajar dan mengajar mengenai Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, bangunan masjid ini diperluas menjadi bangunan masjid yang dikenal sebagai Masjid Agung Tuban saat ini. Masjid Agung Tuban, yang dahulu bernama Masjid Jami, sempat mengalami beberapa kali renovasi.
Renovasi selanjutnya dilakukan tahun 1985, di mana bangunan masjid mengalami perluasan. direnovasi Masjid ini selesai pada tahun 2000 dan semakin dapat membuat kagum para wisatawan yang berkunjung di kota Tuban. Kemudian, di tahun 2004 dilakukan kembali renovasi terhadap bangunan Masjid Agung Tuban oleh pemerintah Kabupaten Tuban. Renovasi yang dilakukan kali ini meliputi pengembangan satu lantai menjadi tiga lantai, menambah sayap kiri dan kanannya dengan mengadopsi arsitektur bangunan berbagai masjid terkenal di dunia serta penambahan enam menara masjid dengan luas 3.565 meter persegi.
Apabila anda sedang berkunjung di kabupaten tuban sangatlah tidak lengkap apabila belum mengunjungi masjid yang satu ini. Apabila anda sedang melakukan perjalanan dinas dan kebetulan menginap di hotel mustika Tuban, anda cukup menempuh jarak sekitar 1,5 km dari hotel mustika ke Masjid Agung Tuban.
MUSIUM KAMBANG PUTIH
Museum Kambang Putih ini terletak di jantung kota Tuban. Tempat ini merupakan satu-satunya museum di kota Tuban, sangat strategis dan berdekatan dengan objek wisata lainnya, seperti; Town Square, masjid Agung, Makam dan Sunan Bonang. Museum ini menyimpan banyak warisan budaya, seperti benda-benda yang ditemukan di wilayah Kabupaten Tuban.
Salah satu koleksi yang tersimpan dalam museum ini adalah koleksi uang Indonesia sejak pertama kali di keluarkan. Uang Indonesia yang pertama kali dikeluarkan adalah ORI (Oeang Republik Indonesia) pada Oktober tahun 1946, dicetak di desa Kendal Payak, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang. Uang ini dicetak di atas kertas yang masih sederhana, desainnya pun masih sederhana. Dan ada juga RIS (Republik Indonesia Serikat), yaitu uang yang dikeluarkan pada tahun 1950 untuk menggantikan uang NICA dan ORI dari peredaran, yang kemudian digantikan dengan uang RI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada tahun 1952/1952.
Selain koleksi uang kuno, ada juga koleksi yang menegaskan keragaman suku dan agama dari masyarakat Tuban, berupa wayang kulit dan wayang golek, sebuah replika dari Barongsai, yaitu simbol naga yang menjadi salah satu lambang budaya masyarakat keturunan Tionghoa, beberapa jenis alat musik tradisional dan bahkan koleksi fosil dan benda-benda purbakala.
GOA AKBAR
Goa Akbar. Terik mentari memapar Bumi Tuban, menemani setiap warganya melanjutkan aktivitas. Di Pasar Baru Tuban, riuh rendah percakapan antara penjual dan pembeli terus menggaung bagaikan orkestra kehidupan yang dinamis.
Namun, di tengah hiruk pikuk itu ada sebuah tempat yang menjanjikan ketenangan, kedamaian, keheningan, atau apapunlah namanya. Tepat di bawah tanah yang mereka pijak, tak lebih dari 10 meter dalamnya, ada sebuah goa yang dinding-dindingnya menyimpan rahasia masa lalu. Goa Akbar namanya, dialah saksi bisu segala kedigdayaan kota Seribu Goa tersebut.
Goa Akbar memiliki luas 1 hektar dan mengandung kisah religi yang sangat tinggi. Diceritakan, dulu Sunan Bonang mengetahui goa ini atas ajakan Sunan Kalijaga yang saat itu masih dikenal sebagai Brandal Lokajaya.Goa Akbar dijadikan sebagai tempat tinggal Brandal Lokajaya setelah diusir oleh ayahnya, Wilotikto, Bupati Tuban ke-9.
Ketika memasuki goa, Sunan Bonang terpesona dan seketika berucap "Allahu Akbar". Sejak itulah goa yang terletak di tengah Kota Tuban itu disebut Goa Akbar. Versi lain diceritakan, bahwa di sekitar goa banyak dijumpai pohon Abar. Masyarakat setempat kemudian menyebutnya Ngabar. Kata "Ngabar" berasal dari bahasa Jawa yang berarti latihan.
Konon, goa ini pernah menjadi tempat latihan ilmu kanuragan prajurit Ronggolawe, yang ketika itu berencana mengadakan pemberontakan ke Kerajaan Majapahit. Pemberontakan itu disulut oleh ketidakpuasan Ronggolawe atas pelantikan Nambi sebagai Maha Patih Majapahit. Karena seringnya dijadikan tempat latihan, goa dan daerah sekitarnya dijuluki Ngabar, yang kemudian menjadi nama dusun yaitu Dusun Ngabar, Desa Gedongombo, Kecamatan Semanding.
Dahulu, goa yang diperkirakan berusis 20 juta tahun ini sempat dilupakan dan menjadi tempat pembuangan sampah oleh masyarakat. Namun pada 1998, Pemkab Tuban berinisiatif membersihkan goa ini dan mengelolanya dengan baik.
Kini goa ini diisi berbagai fasilitas. Jauh dari perkiraan wisatawan tentang goa yang gelap dan berbau kotoran kelelawar, kini di dalam goa telah dibangun jalur dari paving block yang dibatasi oleh pagar steinless steel. Selain pagar pembatas, di lintasan sepanjang 1,2 kilometer itu tertempel larangan balik arah, agar pengunjung tidak sampai kebablasan tanpa memperhitungkan keselamatan. Di sana juga terdapat sumber air yang bernama Kedung Tirta Agung.
Ruang dalam goa tampak kian menarik dengan dekorasi lampu hias. Sinar lampu itu membantu menampilkan dimensi bebatuan yang mengagumkan.Sepanjang lintasan ini terdapat setidaknya tiga ruang besar semacam hall. Ruang besar ini kerap menjadi terminal pengunjung untuk bersantai sejenak.
Selain itu, di depan musholla terdapat ruang yang sangat luas yang dikenal sebagai Paseban Para Wali, atau tempat para wali menyampaikan fatwa dan ajaran agama. Paseban itu mirip ruang pertemuan. Stalaktit dan stalagmit juga seakan menjadi hiasan ruangan. Itu ditambah dengan adanya batu-batu besar yang terletak di bagian depan ruang, seakan menjadi podium bagi pembicara. Beberapa tempat di Goa Akbar akhirnya dipercaya sebagai tempat berkumpul dan bermusyawarah para sunan.
MAKAM SUNAN BONANG
Raden Maulana Makdum Ibrahim atau biasa dikenal Sebagai Sunan Bonang adalah putra sunan Ampel,Beliau di perkirakan lahir tahun 1466 M dan Wafat TAHUN 1525 M.Beliau adalah salah satu pejuang di tanah jawa,juga seorang tokoh pejuang islam di tanah jawa,Juga seorang Pendiri kerajaan Islam di Demak,Jawa Tengah,Area dakwah nya ada di jawa tengah dan jawa timur,khusus nya di daerah tuban dan lasem.Dua kabupaten ini adalah wilyah yang bersebelahan,Kabupaten Tuban masuk wilayah jawa timur,sedangkan Kabupaten Lasem(sekarang kabupaten Rembang) masuk wilayah jawa-tengah.
Banyak peninggalan yang tersebar di dua provinsi tersebut,baik itu barang-barang ataupun makam,di kabupaten Tuban peninggalan Sunan Bonang banyak tersimpan di museum,di lasem peninggalan beliau tersebar dan banyak di temui seperti Mesjid,Gong Kecil,yang di gunakan untuk dakwah,batu tempat bersujud,dan bangunan komplek pesantren,selain itu masih banyak juga di temukan peninggalan lain nya,salah satu nya adalah 2 makam Kanjeng sunan bonang,1 ada di Tuban di belakang Masjid agung tuban yang di belakang nya komplek makam,dan 1 lagi ada di lasem tepatnya di desa bonang,bekas pesantren milik beliau.
Masyarakat secara umum mengenal kota Tuban sebagai tempat bersemayam nya jasad kanjeng sunan,sedangkan di desa lasem hanya sebagian kecil saja orang yang tahu,bahwa di tempat ini ada makam Kanjeng sunan Bonang,,bahkan masyarakat kota rembang sendiri tidak banyak yang tahu ada makam juga di daerah lasem.
Di lasem, makam sunan Bonang yang berada bakar pegas komplek pesantren, memang tidak seperti layaknya pemakaman, maklum saja, ruangan yang berpagar rapat namun terbuka itu tidak ada nisannya tapi dalam hal kekeramatan tempat ini tidak salah.
Dulu, makam Sunan Bonag pernah diberi bangunan, tapi selalu roboh. bahkan burung yang lewat diatasnya juga akan terjatuh. Itulah kekeramatan makam Sunan Bonang. Untuk menentukan Makam Sunan Bonang yang asli memang agak susah karna beliau adalah seorang Wali yang bisa ditemui dimana tempat yang dipercaya orang sebagai tempat pemakamannya sama dengan Tuban, di Lasem, Sunan Bonang juga bisa ditemui. Bahkan beberapa Wali banyak yang memiliki makam bahkan lebih banyak dari Sunan Bonang.
Menurut cerita saat Raden Patah wafat, dan kemudian Kesultanan Demak dipegang Trenggono, Sunan Bonang memilih meninggalkan Demak dan memilih berdakwa di wilayah Madura hingga akhirnya Beliau wafat di Pulau Bawean bahkan di Bawean ini juga ditemui sebuah makam Kanjeng Sunan Bonang pula tepatnya di Kampung Tambak Gubuk. Cerita lain juga ada menyebutkan jika sebernarnya Sunan Bonang wafat di Desa Bonang Lasem kemudian dimakamkan di komplek pesantren. Meski sudah dikubur, jasad Sunan Bonang kemudian dicuri santri asal Madura. Namun dalam perjalanan, kapal yang membawa jasad Sunan Bonang terdampar di Tuban, jasad gurunya itu direbut dan dimakamkan di Kota Tuban.
Memang cerita makam tentang Sunan Bonang simpang-siur itu semua karena ulah penjajah Belanda kala itu memang ingin melenyapkan bukti sejarah dari Indonesia, buku-buku dirampas pemerintah Kolonial bahkan hukuman diterapkan bagi yang menyimpan buku-buku sejarah. Itu karena Kota Lasem adalah basis perlawanan terhadap Belanda pada tahun 1700-an hingga 1800-an bahkan pelarian Cina dari Batavia mengungsi di Lasem dan bergabung dengang pejuang-pejuanglokan Kota Lasem karena alasan itulah dikemudian hari Kabupaten Lasem yang pada masa Majapahit sudah masuk tanah perdikan dibawah kekuasaan kerabat Hayamwuruk itu, dipindah ke Rembang.
Setelah merampas buku sejarah sastrawan-sastrawan yang menjadi antek Kolonial membuat cerita rekaan, banyak sekali cerita dan hayalan yang lahir dari Lasem seperti cerita Ikan Pesut yang konon katanya penjelmaan dari sperma Sunan Bonang yang terjatuh disungai, saat Sunan Bonang melihat pakaian wanita cantik yang tersingkap, juga ada cerita Sunan Bonang yang memotong kemaluannya sendiri. Semua cerita itu adalah bohong bagaimana mungkin seorang Wali bertingkah seperti itu sementara seorang Wali hidup dan perbuatannya selalu mendapatkan bimbingan Allah SWT, cerita yang dimaksud ini bertujuan untuk menjelek-jelekkan Sunan Bonang agar orang Islam tidak memiliki tokoh panutan dan akhirnya tercerai-berai, selain itu juga ada cerita Sunan Bonang bermusuhan dengan Dampo Awang tokoh Cina yang kapalnya terjungkir oleh kesaktian Sunan Bonang konon kapal itu sekarang menjadi Gunung Bugel di utara Kota Lasem, sedang kan layarnya menjadi Watu Layar di Desa Timur Bonag cerita terebut bertujuan untuk mengadu domba orang Cina dan Pribumi yang kala itu bersatu melawan Kolonial Belanda agar terjedi peperangan didalam persatuan sesama mereka sendiri yaitu Cina dan Pribumi.
Cerita jasad Sunan Bonang yang dicuri santri Madura diperkirakan juga bagian dari politik Belanda untuk menyingkirkan ketokohan Sunan Bonang dari Lasem dengan cerita itu diharapkan orang-orang lasem khususnya orang Islam tidak lagi memiliki tokoh pemersatu yang bisa membahayakan pemerintah Belanda.
Semoga dengan tulisan ini terungkap kilas sejarah betapa Sunan Bonang memiliki pengaruh yang sangat kuat sehingga Kolonial Belanda sangat gentar dan takut, berbagai cara serta upaya untuk menghilangkan pengaruh beliau tersebut agar langkah penjajahan Kolonialisme tidak ada yang menghalangi.
Sumber : Kuitp - Edit - Posting
Tidak ada komentar:
Posting Komentar